Powered By Blogger

Kamis, 24 Februari 2011

BOSO JAWI


SINAU BOSO JOWO
Bahasa jawa mempunyai beberapa macam tingkatan untuk membedakan kepada siapakah lawan kita berbicara, apabila kita bicara dengan anak muda atau yang kita anggap kawan bisa menggunakan ngoko lalu ketika dengan orang yang lebih tua memakai bahasa jowo als ata orang jawa menyebutna boso kromo dan ketika lawan bicara kita orang yg sepuh kita memakai kromo inggil
Pastilah kita orang jawa pernah di ajarkan oleh orang tua kita tentang tata cara berbicara kepada orang kita hormati karena kita punya budi pekerti, memang sih agak sedikit ribet tapi inilah budaya kita yang kita harus lestarikan kalau bukan kita siapa lagi yang peduli.
Di bawah ini adalah sedikit conttoh boso kromo silakan di lihat dan semoga bermanfaat.
Ngoko


Tembung Ngoko-Kromo-Kromo Inggil
Tembung Kromo Inggil
Ngoko

Kromo

Kromo Inggil
Abang Abrit Abrit
Anak yoga Putra
adus adus siram
aran nama asma
banyu toya toya
bojo semah garwa
buwang bucal kéndhang
buyar rampung rampung
carita cariyos cariyos
cukur cukur paras, pangkas
dadi dados dados
dalan radinan margi
dandan dandos busana
deleng ningali mriksani
dhewé piyambak piyambak
doyan purun kersa
duwé gadhah kagungan
embuh kirangan ngapunten
endi pundi pundi
epék pendhet pundhut
gawa bekta asta
gedhé ageng ageng
gelem purun kersa
gelis énggal énggal
iki niki punika
ilang ical ical
imbuh imbet tanduk
inep nyipeng nyaré
isin isin lingsem
iya inggih sendika
jaga jagi reksa
jaluk nedi suwun
jamu jampi loloh
jarit sinjang nyamping
jeruk jeruk jeruk
jungkat serat pethat
jupuk pendhet pundhut
kabéh sedaya sedanten
kacamata kacamripat kacatingal
kakang kakang raka
kanggo kanggé kagem
kandha sanjang ngendika
kklambi rasukan ageman
keris dhuwung wangkingan
kongkon kéngkén utus
kowé sampéyan panjenengan

Sabtu, 09 Januari 2010

mengenal huruf jawa dan tafsirnya



mohon maaf sebelumnya bagi yang tidak mengetahui huruf Jawa tidak usah paranoid dulu ya karena inti tulisan ini bukan huruf Jawa itu sendiri, tetapi lebih ke masalah makna kehidupan. Anda tidak begitu membutuhkan kemampuan dan/atau pengetahuan tentang huruf Jawa kok, yang penting membacanya pelan dan jangan terpaku pada huruf Jawa-nya. Fokuslah pada penjelasannya.



(Informasi ini saya tambahkan untuk mengajak teman-teman yang tidak tahu huruf Jawa untuk tidak takut membaca )



Setelah mengetahui sedikit tentang sejarah huruf Jawa maka mari kita sedikit mengupas beberapa makna filosofis dari huruf Jawa tersebut. Ada begitu banyak makna secara filosofis dari huruf Jawa tersebut dan makna filososfis tsb bersifat cukup general alias tidak hanya untuk orang Jawa saja lho. Ada beberapa versi makna huruf Jawa tersebut, beberapa di antaranya adalah yang dikatakan Pakdhé Wikipedia di sini dan di sana, berhubung Pakdhé Wikipedia sudah bercerita dengan cukup jelas maka saya tidak akan menulis ulang pitutur Pakdhé tersebut.
Sekarang saya akan sedikit mengupas “tafsir” versi lain dari huruf Jawa tersebut. Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mencetuskan konsep petuah tentang kepemimpinan yang sangat terkenal, beliau juga berhasil memberi penafsiran mengenai ajaran budi pekerti serta filosofi kehidupan yang sangat tinggi dan luhur yang terkandung dalam huruf Jawa .
Adapun makna yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) HA NA CA RA KA:



hana1.jpg
Ha: Hurip = hidup
Na: Legeno = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.



(2) DA TA SA WA LA



hana2.jpg



DA TA SA WA LA (versi pertama):
Da: Dodo = dada
Ta: Toto = atur
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.



DA TA SA WA LA (versi kedua):
Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk



(3) PA DHA JA YA NYA:



hana3.jpg
PA DHA JA YA NYA =Sama kuatnya (tidak diartikan per huruf).



(4) MA GA BA THA NGA :



hana4.jpg
Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
Ba-Tha: bathang = mayat
Nga: Lungo = pergi



Tetapi selanjutnya dengan sedikit ngawur saya pribadi akan berusaha menyelami dan menjabarkan tafsir huruf Jawa versi Ki Hadjar tersebut sesuai dengan kemampuan saya. Kalau banyak kesalahan ya mohon dimaklumi karena saya bukanlah seorang filusuf, saya hanya ingin mengenal lebih jauh huruf Jawa (walaupun secara ngawur dengan cara sendiri).





(1) HA NA CA RA KA:
Ha: Hurip = hidup
Na: Legeno = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.



Dari arti secara harfiah tsb, saya berusaha menjabarkannya menjadi dua versi:

**) Ketelanjangan=kejujuran

Bukankah secara fisik manusia lahir dalam keadaan telanjang? Tapi sebenarnya ketelanjangan itu tidak hanya sekedar fisik saja. Bayi yang baru lahir juga memiliki jiwa yang “telanjang”, masih suci…polos lepas dari segala dosa. Seorang bayi juga “telanjang” karena dia masih jujur…lepas dari perbuatan bohong (kecuali bayi aneh :D ). Sedangkan CA-RA-KA mempunyai makna cipta-rasa-karya . Sehingga HA NA CA RA KA akan memiliki makna dalam mewujudkan dan mengembangkan cipta, rasa dan karya kita harus tetap menjunjung tinggi kejujuran. Marilah kita “telanjang” dalam bercipta, berrasa dan berkarya.

**)) Pengembangan potensi

Jadi HA NA CA RA KA bisa ditafsirkan bahwa manusia “dihidupkan” atau dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan “telanjang”. Telanjang di sini dalam artian tidak mempunyai apa-apa selain potensi. Oleh karena itulah manusia harus dapat mengembangkan potensi bawaan tersebut dengan cipta-rasa-karsa. Cipta-rasa-karsa merupakan suatu konsep segitiga (segitiga merupakan bentuk paling kuat dan seimbang) antara otak yang mengkreasi cipta, hati/kalbu yang melakukan fungsi kontrol atau pengawasan dan filter (dalam bentuk rasa) atas segala ide-pemikiran dan kreatifitas yang dicetuskan otak, serta terakhir adalah raga/tubuh/badan yang bertindak sebagai pelaksana semua kreatifitas tersebut (setelah dinyatakan lulus sensor oleh rasa sebagai badan sensor manusia).
Secara ideal memang semua perbuatan (karya) yang dilakukan oleh manusia tidak hanya semata hasil kerja otak tetapi juga “kelayakannya” sudah diuji oleh rasa. Rasa idealnya hanya meloloskan ide-kreatifitas yang sesuai dengan norma. Norma di sini memiliki arti yang cukup luas, yaitu meliputi norma internal (perasaan manusia itu sendiri atau istilah kerennya kata hati atau suara hati) atau bisa juga merupakan norma eksternal (dari Tuhan yang berupa agama dan aturannya atau juga norma dari masyarakat yang berupa aturan hukum dll).
(2) DA TA SA WA LA: (versi pertama)



Da: Dodo = dada
Ta: Toto = atur
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.



DA TA SA WA LA berarti dadane ditoto men iso ngadeg jejeg (koyo soko) lan iso weruh (mangerteni) lakuning urip. Dengarkanlah suara hati (nurani) yang ada di dalam dada, agar kamu bisa berdiri tegak seperti halnya tiang penyangga dan kamu juga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.
Kata “atur” bisa berarti manage dan juga evaluate sedangkan dada sebenarnya melambangkan hati (yang terkandung di dalam dada). Jadi dadanya diatur mengandung arti bahwa kita harus senantiasa me-manage (menjaga-mengatur) hati kita untuk melakukan suatu langkah evaluatif dalam menjalani kehidupan supaya kita dapat senantiasa berdiri tegak dan tegar dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kita harus senantiasa memiliki motivasi dan optimisme dalam berusaha tanpa melupakan kodrat kita sebagai makhluk Alloh yang dalam konsep Islam dikenal dengan ikhtiar-tawakal, ikhtiar adalah berusaha semaksimal mungkin sedangkan tawakal adalah memasrahkan segala hasil usaha tersebut kepada Alloh.



DA TA SA WA LA: (versi kedua)



Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk



DA TA SA WA LA bisa ditafsirkan bahwa hanya Dzat Yang Esa-lah (yaitu Tuhan) yang benar-benar mengerti akan baik dan buruk. Secara kasar dan ngawur saya mencoba menganggap bahwa kata “baik” di sini ekuivalen dengan kata “benar” sedangkan kata “buruk” ekuivalen dengan “salah”. Jadi alangkah baiknya kalau kita tidak dengan semena-mena menyalahkan orang (kelompok) lain dan menganggap bahwa kita (kelompok kita) sebagai pihak yang paling benar.



(3) PA DHA JA YA NYA:
PA DHA JA YA NYA = sama kuat
Pada dasarnya/awalnya semua manusia mempunyai dua potensi yang sama (kuat), yaitu potensi untuk melakukan kebaikan dan potensi untuk melakukan keburukan. Mungkin memang benar ungkapan bahwa manusia itu bisa menjadi sebaik malaikat tetapi bisa juga buruk seperti setan dan juga binatang. Mengingat adanya dua potensi yang sama kuat tersebut maka selanjutnya tugas manusialah untuk memilih potensi mana yang akan dikembangkan. Sangat manusiawi dan lumrah jika manusia melakukan kesalahan, tetapi apakah dia akan terus memelihara dan mengembangkan kesalahannya tersebut? Potensi keburukan dalam diri manusia adalah hawa nafsu, sehingga tidak salah ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita masing-masing.



(4) MA GA BA THA NGA:
Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
Ba-Tha: bathang = mayat
Nga: Lungo = pergi



Secara singkat MA GA BA THA NGA saya artikan bahwa pada akhirnya manusia akan menjadi mayat ketika sukma atau ruh kita meninggalkan raga/jasmani kita. Sesungguhnya kita tidak akan hidup selamanya dan pada akhirnya akan kembali juga kepada Alloh. Oleh karena itu kita harus senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadap Alloh.

Sabtu, 21 November 2009

syi,iran...


ALLAHUMMA SHALLI’ALA
MUHAMMAD SAFI’IL ANAM
WA’ALIHI WASAHBIHI
WASALLIM ’ALADDAWAM

Eling-eling sira manungsa
Temenana lehmu ngaji
Mumpung durung katekanan
Malaikat juru pati

Luwih susah luwih lara
Rasane wong nang naraka
Klabang kures kalajengking
Klabang geni ula geni

Rante geni gada geni
Cawisane wong kang dosa
Angas mring kang Maha Kwasa
Goroh nyolong main zina

Luwih beja luwih mulya
Rasane manggon suwarga
Mangan turu diladeni
Kasur babut edi peni

Cawisane wong kang bekti
Mring Allah kang Maha Suci
Sadat salat pasa ngaji
Kumpul-kumpul ra ngrasani

Omong jujur blaka suta
Niliki tangga kang lara
Nulungi kanca sangsara
Pada-pada tepa slira

Yen janji mesthi netepi
Yen utang kudu nyahuri
Layat mring kang kasripahan
Nglipur mring kang kasisahan

Awak-awak wangsulana
Pitakonku marang sira
Saka ngendi sira iku
Menyang endi tujuanmu

Mula coba wangsulana
Jawaben kalawan cetha
Aneng endi urip ira
Saiki sadina-dina
Kula gesang tanpa nyana
Kula mboten gadhah seja
Mung karsane kang Kuwasa
Gesang kula mung sa’derma

Gesang kula sapunika
Inggih wonten ngalam donya
Donya ngalam karameyan
Isine apus-apusan

Yen sampun dumugi mangsa
Nuli sowan kang Kuwasa
Siyang dalu sinten nyana
Jer manungsa mung sa’derma

Sowanmu mring Pangeranmu
Sapa kang dadi kancamu
Sarta apa gegawanmu
Kang nylametke mring awakmu

Kula sowan mring Pangeran
Kula ijen tanpa rewang
Tanpa sanak tanpa kadang
Banda kula katilaran

Yen manungsa sampun pejah
Uwal saking griya sawah
Najan nangis anak semah
Nanging kempal mboten wetah

Sanajan babanda-banda
Morine mung telung amba
Anak bojo mara tuwa
Yen wis ngurug banjur lunga

Yen urip tan kabeneran
Banda kang sapirang-pirang
Ditinggal dinggo rebutan
Anake padha kleleran

Yen sowan kang Maha Agung
Aja susah aja bingung
Janjine ridhone Allah
Udinen nganggo amalan

Ngamal soleh ra mung siji
Dasare waton ngabekti
Ndherek marang kanjeng nabi
Muhammad Rasul Illahi
Mbangun turut mring wong tuwa
Sarta becik karo tangga
Welasa sapadha-padha
Nulunga marang sing papa

Yen ngandika ngati-ati
Aja waton angger muni
Rakib ngatit sing nulisi
Gusti Allah sing ngadili

Karo putra sing permati
Kuwi gadhuhan sing edi
Aja wegah nggula wentah
Suk dadi ngamal jariyah

Banda donya golekana
Metu dalan sing prayoga
Yen antuk enggal tanjakna
Mring kang bener aja lena

Aja medhit aja blaba
Tengah-tengah kang mejana
Kanggo urip cukupana
Sing akherat ya perlokna

Aja dumeh sugih banda
Yen Pangeran paring lara
Banda akeh tanpa guna
Doktere mung ngreka daya

Mula mumpung sira sugih
Tanjakna ja wigah wigih
Darma ja ndadak ditagih
Tetulung ja pilah-pilih

Mumpung sira isih waras
Ngibadaha kanthi ikhlas
Yen lerara lagi teka
Sanakmu mung bisa ndonga

Mumpung sira isih gagah
Mempeng sengkut aja wegah
Muga sira yen wus pikun
Ora nlangsa ora getun

Mula kanca da elinga
Mung sapisan aneng donya
Uripmu sing ngati-ati
Yen wis mati ora bali
Gusti Allah wus nyawisi
Islam agama sejati
Tatanen kang anyukupi
Lahir batin amumpuni

Kitab Qur’an kang sampurna
Tindak nabi kang pratela
Sinaunen kang permana
Sing sregep lan aja ndleya

Dhuh Allah kang Maha Agung
Mugi paduka maringi
Pitedah lawan pitulung
Margi leres kang mungkasi

Nggih punika marginipun
Tetiyang jaman rumuhun
Ingkang sampun pinaringan
Pinten-pinten kanikmatan

Sanes marginipun tiyang
Ingkang sami dinukanan
Lan sanes margining tiyang
Kang kasasar kabingungan

Gesang kita datan lama
Amung sakedheping netra
Maena sami andika
Rukun Islam kang lelima

AMIN AMIN AMIN AMIN
YA ALLAH ROBBAL ‘ALAMIN
MUGI PADUKA NGABULNA
SADAYA PANYUWUN KULA

TOMBO ATI
Tombo ati iku lima ing wernane
Ingkang dhihin maca Qur’an sak maknane
Ping pindhone sholat wengi lakonana
Ping telune dzikir wengi ingkang suwe
Kaping pate wetengira ingkang luwe
Ping limane wong kang sholeh kumpulana
Sapa wonge padha bisa anglakoni
Insya Allah Gusti Allah nyembadani

Rabu, 11 November 2009

sekilas tentang macapat


Bagi orang yang ingin menggeluti kesenian tradisional terlebih dahulu harus dapat menguasai tembang Macapat. Hal ini penting, karena tanpa menguasai tembang Macapat sulitlah orang menggeluti kesenian tradisional Jawa, seperti : Karawitan, Wayang Kulit, Ande-ande Lumut, Brambangan, apa lagi Langen Mandra Wanara. Sebab tembang Macapat merupakan unsur baku dan induk (babon) kesenian tradisional Jawa. Oleh karena itu, apabila ingin menggeluti salah satu kesenian tradisional Jawa, sebaiknya rajin mengikuti Macapatan.

MACAPAT MERUPAKAN UNSUR BAKU BERBAGAI JENIS KESENIAN
Dengan menggeluti seni Karawitan orang mudah menguasai Unsur baku “ngeng”-nya suatu gending, menguasai tembang gerongan maupun sindenannya, bawa-swaranya dan lain sebagainya. Tembang-tembang yang baku itu adalah Macapat, baik Kinanthi, Asmaradana ataupun Dhandhanggula dan sebagainya. Demikian pula apabila kita mencermati seni pedalangan (wayang kulit), disamping ada suluk dan odo-odo ada pula unsur baku lainnya, yaitu : tembang macapat untuk gerongan dan isian gara-gara serta adanya wejangan orang tua kepada satria.
Terlebih dahulu lagi dalam kesenian ketoprak. Para pemain baku harus dapat menguasai tembang macapat yang biasanya diiringi dengan gamelan. Disamping itu harus terampil melagukan dan cekatan mengarang tembang Asmaradana, Kinanthi, Pucung dan lain-lain untuk “bage-binage” atau “gandrung”. Demikian pula dalam pentas kesenian tradisional lainnya : Jatilan, Wayang Orang, Slawatan Jawi (Montro, Genjring, Mondreng dan lain-lain), Srandul, Brambangan dan sebagainya. Tembang Macapat merupakan unsur baku, lebih-lebih dalam Langen Mandra Wanara dan sejenisnya (Langentaya, Purbawanara, Langendriya dan lain-lain).
Tanpa menguasai tembang Macapat, diharapakan untuk tidak ikut berperan, karena ketrampilan nembang macapat merupakan darah daging pemain Langen Mandra Wanara.

DARI MACAPATAN
Kesenian tradisional Langen Mandra Wanara dan, sejenisnya berinduk dari Macapatan. Semula adalah pagelaran Macapatan di Ndalem Mangkubumen, di kawasan Kraton Yogyakarta, dengan membaca Serat Rama. Sungguh sangat mengasyikkan, dengan diadakan pembagian kerja. Yang membaca tembang berisi jalan cerita ada sendiri. Yang membaca uacapan-ucapan Prabu Rama, Dewi Sinta, Lesmana, Anoman, Prabu Rahwana, Kumbakarna, Trijata dan sebagainya, masing-masing ada “dhapukan-nya” sendiri, penari sekaligus melantunkan tembang, tetapi karena dari duduk lesehan (bersila di tikar), maka menarinya dengan jongkok (Jengkeng), dilengkapi adegan perang dan sebagainya dan diiringi gamelan, maka jadilah kesenian Langen Mandrawanara. Apabila dilakukan dengan berdiri dinamakan Langendriya atau Langendriyan. Ada lagi : Langentaya, Purbawanara dan sebagainya, Jelaslah, disampaing menjadi unsur baku, tembang Macapat ternyata juga menjadi induk (babon) kesenian tradisional Jawa.
MENGARANG MACAPAT
Yang baku dalam Macapatan adalah orang karangan yang sudah ada
dengan lagu atau cengkok tembang yang sesuai dengsn watak isi ceritanya. Tembang Dhadhanggula misalnya, mempunyai cengkok lagu bermacam-macam (ada sekitar 20 lagu) seperti : Pasowanan, Kanyut, Baranglaya, Liksuling, Palaran, Kentar, Banjet, Manten Anyar, Semarangan, Turulare, Majasih, Sedyaasih, Rencasih, Pangajabsih, Tlutur, Banyumasan dan lain-lain. Setelah ditembangkan, isi bacaan tersebut diperbincangkan dalam sarasehan untuk mendalami maknanya. Demikian yang terjadi dalam Macapatan. Namun disamping itu, ada juga Macapatan yang memberi kesempatan kepada para warganya untuk mengarang cakepan (syair) dari Macapat. Untuk mengarang Macapat ini, agar sastra Macapat itu baik bahkan mendekati sempurna, maka karangan harus memenuhi 9 syarat yaitu : 1. guru gatra, 2. guru lagu, 3. guru wilangan , 4. pedhotan, 5. sasmita, 6. purwakanthi, 7. sengkalan, 8. sandiasma, dan 9. Sesuai dengan watak tembang.
Memang, cakepan tembang Macapat yang baik itu memenuhi 9 syarat, namun minimal 3 syarat suatu karangan yaitu : (guru gatra : jumlah baris, guru lagu : jatuhnya vokal a, i, o, e, u tiap akhir baris ; dan guru wilangan : jumlah suku kata tiap barisnya) sudah dapat ditembangkan, walau kurang luwes dan kurang indah.
Contoh : Cakepan tembang PANGKUR karangan baru :
Nusantara kajuwara, (8-a)
Jembar subur tanahnya loh jinawi, (11-I)
Pulonya maewu-ewu, (8-u)
Winengku ing samodra, (8-a)
Rakyat sagung sugih seni adiluhung, (12-u)
Eman yen kesed makarya, (8-a)
Payo sengkud mbangun nagri (8-i).
Terjemahan dalam bahasa Indonesianya (juga dapat ditembangkan) :
Nusantara sungguh tenar,
Luas subur dan kaya hasil bumi,
Beribu-ribu pulaumu,
Dipadukan lautan,
Rakyat kaya kesenian yang bermutu,
Sayang bila malas kerja,
Marilah membangun negeri.

Tembang Macapat yang semula hanya 9, berkembang menjadi 11, dan sekarang sudah bertambah menjadi 15 buah. Dibawah ini diperkenalkan 15 tembang macapat masing-masing dengan : guru gatra, guru wilangan dan guru lagunya, berikut watak dan sasmita yang menandai tembang tersebut. Diurutkan dari guru gatra (jumlah barisnya) paling sedikit (4 gatra) sampai yang terbanyak (10 gatra).
1. Maskumambang 4 gatra : 12-i, 6-a, 8-i, 8-a. Sedih, terharu, iba, prihatin (kumambang, kentir, ngambang).
2. Pucung 4 gatra : 12-u (4-u dan 8-u), 6-a, 8-i, 12-i. Jenaka, humor, seenaknya, main-main (bapak pucung, kluwak, cung).
3. Megatruh 5 gatra : 12-u, 8-i, 8-u, 8-i, 8-o. Sedih, terharu, prihatin, menyesal (pegat, pegatan, pisah, pedhot).
4. Gambuh 5 gatra : 7-u, 10-u, 8-i, 8-u, 8-o. Jelas, terang-terangan, serba sesuai, setuju (embuh, jumbuh, rujuk).
5. Balabak 6 gatra : 12-a, 3-e, 12-a, 3-e, 12-a, 3-e. Bercanda main-main (bak, blabak).
6. Wirangrong 6 gatra : 8-i, 8-o, 10-u, 6-i, 7-a, 8-a. Berwibawa, mrabu (wirang, rong, mrebawani, mrambu).
7. Mijil 6 gatra : 10-i, 6-o, 10-e, 10-i, 6-i, 6-u. Mendidik, terharu, ngelangut (wijil, wiyos, keluar).
8. Kinanthi 6 gatra : 8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, 8-i. Mendidik, gembira, rukun, cinta (kanthi, kanthen asta, gandheng, renteng).
9. Durma 7 gatra : 12-a, 7-i, 6-a, 7-a, 8-i, 5-a, 7-i. Bersemangat, marah, bertempur (mundur, dur).
10. Asmaradana 7 gatra : 8-i, 8-a, 8-e, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a. Prihatin, sedih, cinta (asmara, kasmaran, kingkin).
11. Jurudemung 7 gatra : 8-a, 8-u, 8-u, 8-a, 8-u, 8-a, 8-u. Memikat, menyenangkan (demung, kijuru, mung).
12. Pangkur 7 gatra : 8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, 8-i. Gagah, perwira, bersemangat, marah (kur, mungkur, yuda kenaka, yuda).
13. Girisa 8 gatra : 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a. Wanti-wanti, himbauan seriua (giris, ris).
14. Sinom 9 gatra : 8-a, 8-i, 8-a, 8-i, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, 12-a. Lincah, berwibawa, merabu (anom, taruna, sri nata, mudha).
15. Dhadhanggula 10 gatra : 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-a, 8-a, 12-i, 7-a. Gembira, luwes, pengharapan, bersahabat (manis, sarkara/gula,

marilah kita lestarikan budaya nenek moyang kita, masa ,, orang jepang saja bisa nGGmel ko, wong jowo malah rai iso,., ??

monnggo kagem poro mudo taruno kito sami bebarengan ambudidoyo kesenian kito puniko,.


nguri uri kabudayan jawi




wong jowo nanging ora kari jawane.,TEMBANG jOWO

Urut-urutane tembang Jawa iku padha karo lelakoning manungsa saka mulai bayi abang nganti tumekaning pati. Mungguh kaya mangkene urut-urutane tembang kaya kang tak aturake ing ngisor iki:
Maskumambang
Gambarake jabang bayi sing isih ono kandhutane ibune, sing durung kawruhan lanang utawa wadhon, Mas ateges durung weruh lanang utawa wadhon, kumambang ateges uripe ngambang nyang kandhutane ibune.
Mijil
ateges wis lair lan jelas priya utawa wanita.
Kinanthi
saka tembung kanthi utawa tuntun kang ateges dituntun supaya bisa mlaku ngambah panguripan ing alam ndonya.
Sinom
tegese kanoman, minangka kalodhangan sing paling penting kanggone remaja supaya bisa ngangsu kawruh sak akeh-akehe.
Asmaradana
tegese rasa tresna, tresna marang liyan ( priya lan wanita lan kosok baline ) kang kabeh mau wis dadi kodrat Ilahi.
Gambuh
saka tembung jumbuh / sarujuk kang ateges yen wis jumbuh / sarujuk njur digathukake antarane priya lan wanita sing padha nduweni rasa tresna mau, ing pangangkah supaya bisaa urip bebrayan.
Dandanggula
Nggambarake uripe wong kang lagi seneng-senenge, apa kang igayuh biso kasembadan. Kelakon duwe sisihan / keluarga, duwe anak, urip cukup kanggo sak kaluarga. Mula kuwi wong kang lagi bungah / bombong atine, bisa diarani lagu ndandanggula.
Durma
Saka tembung darma / weweh. Wong yen wis rumangsa kacukupan uripe, banjur tuwuh rasa welas asih marang kadang mitra liyane kang lagi nandhang kacintrakan, mula banjur tuwuhrasa kepengin darma / weweh marang sapadha - padha. Kabeh mau disengkuyung uga saka piwulange agama lan watak sosiale manungsa.
Pangkur
Saka tembung mungkur kang ateges nyingkiri hawa nepsu angkara murka. Kang dipikir tansah kepingin weweh marang sapadha - padha.
Megatruh
Saka tembung megat roh utawa pegat rohe / nyawane, awit wis titi wancine katimbalan marak sowan mring Sing Maha Kuwasa.
Pocung / Pucung
Yen wis dadi layon / mayit banjur dibungkus mori putih utawa


asmorondono,,,
Get this widget | Track details | eSnips Social DNA

Followers

Lorem ipsum dolor

Blog Archive